Minggu, 21 November 2010

Makalah Ekologi

MAKALAH EKOLOGI
tentang
PENGARUH GLOBAL WARMING TERHADAP KELANGSUNGAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

  





DISUSUN OLEH :

SUMARYANTO (NIM : F1A108208)






BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Pemanasan global (global warming) telah terjadi semenjak abad 20, mulai dari awal revolosi industri di negara-negara eropa, pemanasan global memberikan dampak terhadap perubahan iklim global sebagai akibat dari peningkatan efek rumah kaca (greenhouse effect)  dan pemenuhan emisi gas CO2 di udara yang dapat mengakibatkan perubahan kondisi suhu global menjadi lebih panas (temperature bumi meningkat) serta mempengaruhi kondisi siklus metereologi dan geologi, yang mengakibatakan bencana alam dimana kondisi terjadinya bencana memiliki hubungan dengan pemanasan global dan kenaikan muka air laut oleh karena adanya penambahan masa air laut akibat pencairan es di kutub yang ditimbulkan setiap tahunnya, terjadinya El Nino, banjir akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga berbarengan dengan bencana longsor, badai tropis, dan badai siklon.
Risiko global warming berdampak pula terhadap ekosistem mangrove pesisir pantai (terjadinya abrasi) dan ekosistem lainnya serta bencana yang dapat ditimbulkan berupa hilangnya keberfungsiaan masyarakat, korban, kerugian material, kerusakan fisik dan kerusakan lingkungan. Dalam dua dekade ini telah terjadi pertumbuhan penduduk di dunia yang sangat pesat, kebutuhan akan pemenuhan hidupnya mengakibatkan bertambahnya pasokan emisi gas dan efek rumah kaca di bumi yang tidak seimbang dengan daya tampung wilayahnya,  kondisi ini akan terjadi dari tahun ke tahun yang menjadi permasalahan serius bagi dunia sebagai dampak perubahan iklim. Bencana ekologis akibat global warming tersebut akan terjadi apabila keseimbangan antara makluk hidup dan tempat tinggalnya tidak terpenuhi, sehingga menjadi suatu ancaman (hazard) yang dapat mengakibatkan risiko bencana apabila ada kerentanan (vulnerability) di dalam suatu lingkungan masyarakat dalam menerima ancaman.  Selain itu juga pemanasan global terjadi akibat dari kegiatan ekploitasi secara besar-besaran terhadap sumberdaya alam yang menjadi bagian dari siklus keseimbangan alam.
Indonesia merupakan negara kepulauan beriklim tropis yang tidak luput dari dampak pemanasan global itu sendiri, pencairan kutub es selama beberapa decade menyebabkan peralihan dan penurunan fungsi serta peranan hutan mangrove menjadi lebih pasif akibat dari kenaikan debit air laut secara drastis, sehingga sangat sulit untuk hutan mangrove mencegah dan menahan pergerakan gelomabng laut yang tidak teratur dewasa ini. Indonesia sendiri dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001).
Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana sering kali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove sebahgai imbas dari global warming tadi adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
            Seperti kita ketahui global warming telah mengancam seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam konteks ekologis serta aspek ekosistem itu sendiri, kita harus mampu mencegah dan mengantisipasi dampak buruk dari global warming tersebut dengan mengupayakan dan memaksimalkan fungsi dari hutan mangrove itu sendiri demi kelangsungan ekosistem pesisir dengan menjaga serta  melestarikannya secara sistematis dan berkala.

B.     Pembatasan Masalah
Permasalahan klasik seperti Global Warming yang terjadi dewasa ini dinegara-negara beriklim tropis terutama di Indonesia, telah menyebabkan banyak sekali perubahan-perubahan baik fisik dan non-fisik yang terjadi seperti bencana alam dan peristiwa alam lainnya. Namun hal yang perlu digaris bawahi disini bahwa efek yang sangat tersa akibat adanya Global Warming ini yaitu terjadinya ketidakseimbangan dalam ekosistem hutan mangrove di pesisir pantai. Seperti kita ketahui bersama Global Warming mengakibatkan naiknya permukaan air laut dan berdampak serius terhadap terjadinya abrasi (tenggelamnya daratan / pulau).
Mengingat keterbatasan penulis dalam melakukan pembahasan, maka penulisan makalah ini terbatas pada fakta terjadinya global warming yang mengancam kelangsungan ekosistem hutan mangrove di sekitar pesisir pantai.

C.    Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang akan dibahas pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Bagaimana fakta terjadinya global warming yang mengancam kelangsungan ekosistem hutan mangrove di pesisir pantai Indonesia secara umum?
  2. Bagaimana pengaruh global warming terhadap kelangsungan ekosistem hutan mangrove?
  3. Bagaimana cara mengupayakan dan meminimalisir dampak terjadinya Global Warming yang terhadap kelangsungan ekosistem hutan mangrove di sekitar pesisir pantai?


D.    Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan, yaitu:
  1. Mengetahui fungsi dan peranan penting atas keberadaan hutan mangrove di pesisir sekitar pantai
  2. Mengetahui penyebab terjadinya Kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistem hutan mangrove di pesisir sekitar pantai
  3. Mengetahui solusi penanggulangan terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di sekitar pesisir pantai
  4. Menanamkan sikap peduli dan sikap simpati masyarakat untuk ikut serta menjaga dan memelihara, serta mengawasi keberadaan hutan mangrove tadi demi menjaga keseimbangan ekosistem pesisir pantai.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Perubahan Iklim dan Bencana Ekologis
               Perubahan iklim global diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer bumi sebagai efek rumah kaca (greenhouse), kegiatan industri, pemanfaatan sumberdaya minyak bumi dan batubara, serta kebakaran hutan sebagai penyumbang emisi gas CO2 terbesar di dunia yang mengakibatkan perubahan pada lingkungan dan tataguna lahan (landuse), karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang diterima dengan energi yang dilepaskan ke udara dan terjadi perubahan tatanan pada atmosfir sehingga dapat mempengaruhi siklus menjadi tidak seimbang di alam, akibatnya terjadi perubahan temperature yang sangat signifikan di atmosfer. Pemanasan global berdampak pada perubahan iklim di dunia menjadi tidak stabil, apabila pemananasan global terus bertambah setiap tahunnya dapat menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap percepatan ancaman yang seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, tsunami, kekeringan dan El Nino yang dapat menimbulkan risiko bencana pada sistem ekologis             (Helmer, M and Hilhorst,D, 2006)
B.       Gambaran Umum Hutan Mangrove Pesisir Pantai

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau
secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8%           (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/ salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau
atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Hutan mangrove adalah hutan yang berada di daerah tepi pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantai hutannya selalu tergenang air.  Menurut Steenis (1978) mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut. Nybakken (1988) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Soerianegara (1990) bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh iklim; 2) dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah pantai; 5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) dll.  
            Hutan mangrove dibedakan dengan hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai yaitu hutan yang tumbuh disepanjang pantai, tanahnya kering, tidak pernah mengalami genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat terdapat  disepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut. Kawasan ekosistem hutan pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu. Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan rawa terdapat di daerah yang landai, biasanya terletak di belakang hutan payau.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.

C.           Fungsi dan Peranan Penting Hutan Mangrove
Fungsi ekosistem mangrove  mencakup fungsi  fisik (menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut/abrasi, intrusi air laut, mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan limbah), fungsi biologis (tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota) dan fungsi ekonomi (sumber bahan baker, pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan bangunan dll. (Naamin, 1990), makanan, obat-obatan & minuman, gula alcohol, asam cuka, perikanan, pertanian, pakan ternak, pupuk, produksi kertas & tannin dll. Menurut Wada (1999) bahwa 80% dari  ikan komersial yang tertangkap di perairan lepas/dan pantai ternyata mempunyai hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal ini membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi  kawasan tempat breeding & nurturing bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat satwa liar, penahan angina laut, penahan sediment yang terangkut dari bagian hulu dan sumber nutrisi biota laut.

            Kusmana (1996) menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai:
1).  penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat;
2).  pengolah limbah organic;
3).  tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut;
4).  habitat berbagai jenis margasatwa;
5).  penghasil kayu dan non kayu;
6).  potensi ekoturisme.
Gosalam et al. (2000) telah mengisolasi bakteri dari ekosistem hutan mangrove yang mampu mendegradasi residu minyak bumi yaitu Alcaligenes faecalis, Pseudomonas pycianea, Corynebacterium pseudodiphtheriticum, Rothia sp., Bacillus coagulans, Bacillus brevis dan Flavobacterium sp.
            Hutan mangrove secara mencolok mengurangi dampak negative tsunami di pesisir pantai berbagai Negara di Asia (Anonim, 2005a). Ishyanto et al. (2003) menyatakan bahwa Rhizophora memantulkan, meneruskan dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun Rhizophora (bakau). Venkataramani (2004) menyatakan bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok alami. Dibuktikan di desa Moawo (Nias) penduduk selamat dari terjangan tsunami karena daerah ini terdapat hutan mangrove yang lebarnya 200-300 m dan dengan kerapatan pohon berdiameter > 20 cm sangat lebat. Hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara, yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.

D.           Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

E.       Luasan Hutan Mangrove di Indonesia

Luasan hutan mangrove di dunia  15,9 juta ha dan 27%-nya atau seluas 4,25 juta ha terdapat di Indonesia (Arobaya dan Wanma, 2006). SeLuasan ini penyebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan penyebaran terluas  di Papua.  Menurut Anonim (1996) bahwa luas hutan mangrove di Indonesia sebesar 3,54 juta ha atau sekitar 18-24% hutan mangrove dunia, merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Negara lain yang memilki hutan mangrove yang cukup luas adalah Nigeria seluas 3,25 juta ha,

 Tabel 1. Luas hutan mangrove di Indonesia (Supriharyono, 2000)

No.
Wilayah
Luas (ha)
1.
Aceh
50.000
2
Sumatera Utara
60.000
3
Riau
95.000
4
Sumatera Selatan
195.000
5
Sulawesi Selatan
24.000
6
Sulawesi Tenggara
29.000
7
Kalimantan Timur
150.000
8
Kalimantan Selatan
15.000
9
Kalimantan Tengah
10.000
10
Kalimanta Barat
40.000
11
Jawa Barat
20.400
12
Jawa Tengah
14.041
13
Jawa Timur
6.000
14
Nusa Tenggara
3.678
15
Maluku
100.000
16
Irian Jaya
2.934.000

Total
3.806.119


Tabel 2. Luas hutan mangrove di Indonesia  (FAO, 2002).

Wilayah
Luas (ha)
Persen
Bali
1.950
0,1
Irian Jaya
1.326.990
38
Jawa
33.800
1
Jawa Tengah
18.700
0,5
Jawa Barat
8.200
0,2
Jawa Timur
6.900
0,2
Kalimantan
1.139.460
32,6
Kalimantan Barat
194.300
5,6
Kalimantan Tengah
48.740
1,4
Kalimantan Timur
775.640
22,2
Kalimantan Selatan
120.780
3,5
Maluku
148.710
4,3
Nusa Tenggara
15.400
0,4
Sulawesi
256.800
7,4
Sumatera
570.000
16,3
Indonesia
3.493.110
100






BAB III
PEMBAHASAN

A.      Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove di pesisir pantai memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
  1. Habitat satwa langka
  2. Pelindung terhadap bencana alam
  3. Pengendapan lumpur
  4. Penambah unsur hara
  5. Penambat racun
  6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
  7. Transportasi
  8. Sumber plasma nutfah
  9. Rekreasi dan pariwisata
  10. Sarana pendidikan dan penelitian
  11. Memelihara proses-proses dan sistem alam
  12. Penyerapan karbon
  13. Memelihara iklim mikro
  14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam

B.            Fakta Kerusakan Hutan Mangrove di beberapa wilayah di Indonesia

Dari 95.000 hektar kawasan hutan bakau di Provinsi Jawa Tengah, 61.000 hektar di antaranya masuk kategori rusak berat. Penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan menjadi areal industri, tambak, pertanian, pemukiman dan efek dari pemanasan global (global warming) yang sedang marak terjadi dewasa ini.
Reklamasi areal hutan bakau menjadi kawasan wisata juga menjadi penyebab kerusakan bakau yang memiliki fungsi utama menahan erosi dan abrasi air laut tersebut. Reklamasi yang dilakukan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan hidup sangat merusak ekosistem di kawasan pantai.
“Rusaknya hutan bakau, berdampak pula pada meluasnya banjir dan rob,” ungkap Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Sri Puryono, Rabu (18/6) di Kota Semarang.
Menurut Sri Puryono, perilaku masyarakat di kawasan pesisir dalam memanen bakau juga kurang memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan konservasi lingkungan hidup. Padahal, seharusnya, untuk setiap bakau yang ditebang harus dilakukan penanaman kembali.
Dari data Dinas Kehutanan Jateng, terdapat 14 kabupaten/kota yang kawasan hutan bakaunya masuk kategori rusak berat, yakni Kabupaten Cilacap, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang, serta Kota tegal, Pekalongan, dan Semarang.
Dari 14 daerah tersebut, kerusakan hutan bakau paling luas terjadi di Kabupaten Pati, yakni 17.000 hektar. Kerusakan hutan bakau di Kabupaten Demak juga cukup luas, mencapai 8.600 hektar.
Pakar manajemen lingkungan hidup Universitas Diponegoro Prof Sudharto Hadi menilai, kerusakan hutan bakau di Jawa Tengah salah satunya disebabkan minimnya lahan pantai yang dimiliki pemerintah. “Sekitar 65 persen dari kawasan pantai dimiliki oleh pihak swasta. Dengan demikian, fungsi kontrol pemerintah tidak bisa optimal,” jelasnya.
Untuk memperbaiki ekosistem hutan bakau, pemerintah telah merehabilitasi sejumlah kawasan hutan bakau di Jawa Tengah. Pada tahun 2007, telah dianggarkan dana dari Departemen Kehutanan sebesar Rp 3 juta per hektar, untuk merehabilitasi sekitar 5.000 hektar lahan bakau.
“Untuk tahun 2008-2009, kita sedang mendorong rehabilitasi secara swadaya oleh masyarakat supaya mereka memiliki kesadaran mengenai pentingnya hutan bakau,” kata Sri Puryono. (sumber : Kompas edisi 18 juni 2008)

C.           Akibat Rusaknya Hutan Mangrove

1. Instrusi air laut
2. Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organic, minyak bumi dll.
3. Penurunan keanekaragamanhayati di wilayah pesisir
4. Peningkatan abrasi pantai
5. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya
    produksi tangkapan ikan menurun.
6. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan tiupan angin dan gelombang     
    air laut sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya banjir dan tsunami
8. Peningkatan pencemaran pantai.
D.          Pengaruh Global Warming terhadap kelangsungan ekosistem Hutan Mangrove
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

E.           Solusi pencegahan dan penanggulangan kerusakan ekosistem hutan mangrove di pesisir pantai dalam cakupan nasional akibat dampak dari terjadinya global warming
-          Mengurangi tingkat polusi udara,
-          Penghematan energi Listrik,
-          Mengurangi Pembakaran (tingkat emisi penggunaan karbon)
-          Pengurangan kegiatan industri yang menghasilkan tingkat limbah gas metan    yang tinggi persentasenya
-          Penanaman kembali mangrove
-          Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi
-          Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab
-          Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi
-          Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi
-          Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
-          Program komunikasi konservasi hutan mangrove
-          Sosialisasi dan koordinasi kegiatan kemasyarakatan sekitar pesisir
-          Pembentukan kelompok masyarakat binaan dan peningkatan kapasitas masyarakat/kelompok tani wilayah pesisir dan laut dalam pelaksanaan pembuatan model tumpangsari mangrove/kebun melati dan rehabilitasi mangrove dan pantai
-          Pembuatan model tumpangsari hutan mangrove dengan kebun melati
-          Rehabilitasi mangrove tanaman pantai, termasuk pemeliharaannya
-          Penjagaan intensif terhadap keberadaan Hutan Mangrove tadi agar tetap lestari
-          Program Rotasi berkala penanggulangan masalah erosi tanah pesisir sebagai proses antisipasi terhadap terjadinya gelombang tsunami dan banjir bandang
-          Penegakan hukum
-          Monitoring dan evaluasi.





BAB IV
PENUTUP

  1. Kesimpulan
  1. Global warming memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan Ekosistem hutan  mangrove
  2. Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis
  3. Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukan pengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi
  4. Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasa pengelolaan
mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat
  1. Kerjasama dan kegiatan sosialisasi antara pemerintah dan  masyrakat   sekitar
pesisir pantai wajib ditingkatkan demi mengantisipasi terjadinya bahaya yang mengancam keberadaan ekosistem hutan mangrove.

B.  Saran

Untuk menghadapi permasalahan yang sangat klasik seperti ini, Pemerintah dan warga sekitar pesisir pantai wajib untuk mengutamakan kepentingan bersama, dari segi keselamatan dan sisi ekologi itu sendiri demi kelestarian dan kelangsungan ekosistem hutan mangrove itu sendiri. Demi terciptanya kondisi alam yang lestari, alami, selaras, serasi, dan seimbang, yang merupakan idaman dan harapan dari seluruh lapisan masyarakat serta kelestarian flora dan fauna yang wajib kita jaga secara maksimal.




DAFTAR PUSTAKA

Freites, C, 2005. Perceived Changein Risk of Natural Disasters caused by Global Warming. International Science Journal Climate Reserch, Volume 1, 2005, pp 34-38
http://www.Let’sgoblueindonesia.com (diakses pada tanggal 27 september 2009)
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com (diakses pada tanggal 27
september 2009)
Santoso, U. 2007. Lynn White Jr. The Historical Roots of Our Ecologic Crisis. In Wesley Granberg-Michaelson, Ecology and Life (Waco: Word, 1988)
Munisa, A. A. H. Oli, A. K. Palaloong, Erniwati, Golar, G. D. Dirawan, M. S. Hamidua dan R. G. P. Panjaitan. 2003. Partisipasi masyarakat mangrove di Sulawesi Selatan. http://tumoutou,net/702_07134/71034_13.htm
Permasalahan dan  solusi pengelolaan lingkungan hidup di Propinsi Bengkulu. Pertemuan PSL PT se-Sumatera tanggal 20 Februari 2006 di Pekanbaru
Schipper, L and Pelling, M, 2006. Disaster Risk, Climate Change and International Development: Scope for, and Challenges to, Integration. Journal of Disasters, Volume 30, Number 1, Maret 2006, pp 19-38
Subadra, N. 2007. Bali Tourism Watch: Penyelamatan Hutan Mangrove Jawaban “Global Warming”. Diakses dari http://www.subadra.wordpress.com/ 2007/11/24/bali-tourism-watch-penyelamatan - hutan - mangrove -jawaban-global-warming/
Onrizal. 2006. Hutan mangrove. Bagaimana memanfaatkannya secara lestari? Warta
Konservasi Lahan Basah, 14 (4): 6-8
Van Aalst and Marteen, K, 2006. The Impacts of Climate Changes on The Risk Natural Disaster. Journal of Disaster, Volume 30, Number 1, Maret 2006, pp 5-18 (14).

0 komentar:

Posting Komentar